Perayaan Ekaristi syukur ulang tahun ke 7 Ormas Katolik Vox Populi Institute Indonesia (Vox Point) dipimpin oleh Kardinal Mgr. Prof.Dr. Ignatius Kardinal Suharyo Pr – Uskup Keuskupan Agung Jakarta dan Uskup Umat Katolik di Lingkungan TNI-Polri/Ordinariat Militer Indonesia dan didampingi RD. Rofinus Neto Wuli – Moderator Nasional DPN Vox Point Indonesia dan RD. Yustinus Ardianto – Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Agung Jakarta bertempat di Wisma Samadi Klender Jakarta Timur pada Sabtu, 18 Maret 2023.
Menggema kuat spirit kebangsaan di kalangan seluruh peserta Misa Syukur tersebut baik yang hadir langsung di Wisma Samadi maupun segenap insan Voxian’s yang mengikutinya secara virtual dari seluruh penjuru tanah air.
Isu Kebangsaan yang begitu menguat bergema dalam perayaan Ekaristi yang diikuti para pengurus dan anggota Vox Point Indonesia ini berdasarkan tema perayaan HUT ke 7 Vox Point Indonesia tahun ini yakni “Mewujudkan Politik Kebangsaan, Memperkuat Soliditas Menuju Kesejahteraan Bersama”.
Tema perayaan tersebut lalu saya angkat menjadi judul Tulisan ini. Spirit Kebangsaan yang Terinspirasi dari Kitab Suci Homili Kardinal Suharyo sungguh menginspirasi segenap insan Vox Populi Institute Indonesia (Voxian) di seluruh wilayah NKRI dengan pesan kebangsaan sebagai aplikasi perwujudan ayat-ayat suci Firman Tuhan yang direnungan dalam Ekaristi Syukur tersebut.
Dalam homilinya, Kardinal Suharyo mengucapkan selamat ulang tahun ke 7 kepada keluarga besar Voxian dimanapun berada dan mengucapkan proficiat atas hasil-hasil yang telah dicapai selama 7 tahun.
Kiranya menjadi lembaga yang semakin hari semakin menjadi suara (Latin: Vox = suara) hati di tengah-tengah bangsa dan negara kita.
“Terima kasih atas kehadiran keluarga besar Voxian di tengah-tengah Gereja Katolik Indonesia,” kata Kardinal Suharyo.
Merujuk bacaan Injil Yohanes 9:1-41 dari penanggalan liturgi Minggu IV Prapaskah, Kardinal Suharyo mengatakan bahwa bacaan injil tersebut mengajak semua untuk terus bertumbuh dalam iman akan Yesus. Pertumbuhan iman itu sangat dinamis seperti yang dialami seorang buta yang disembuhkan oleh Yesus.
Ada pertumbuhkembangan pemahaman dan penghayatan iman , mulai dari menyebut “Yesus” saja, kemudian meningkat menjadi “Nabi”, dan memuncak pada kedalaman pemaknaan dengan pengakuan iman bahwa Yesus yang Nabi itu adalah “Tuhan”.
Sebagaimana ditegaskan dalam bacaan kedua (Efesus 5:8-14) “…memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan.Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang. Karena terang hanya berbuahkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran”, Kardinal Suharyo kembali mengingatkan para voxian pada Empat Konsensus Kebangsaan Indonesia.
“Para Voxian mesti mempribadikan kata-kata Rasul Paulus bahwa para Voxian dimanapun, siapapun, dalam peran apapun harus menjadi terang. Sesuai dengan misi Vox Point Indonesia yakni mengembangkan Nilai-nilai Kebangsaan, untuk memperjuangkan Nilai Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian demi kesejahteraan bersama (bonum commune) yang berpedoman pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika,” kata Kardinal Suharyo.
Bohir, Cukong, dan Mafia
Mencermati realitas ke-Indonesia-an kita saat ini, Kardinal Suharyo juga menyoroti tentang kata-kata baru yang beredar di media massa atau media sosial dan telah berubah makna, seperti kata bohir yang arti sesungguhnya adalah orang yang membangun, namun kini arti bohir menurut bahasa nota pastoral KWI, bohir merupakan perselingkuhan antara poros negara dan bisnis di mana bisnisnya bohir, yang nanti dibohirin menjadi penguasa, sehingga yang dibohirin mempunyai hutang budi kepada yang membohirin.
Selain kata bohir, Kardinal juga menyoroti tentang perubahan makna kata cukong, dan mafia. Dewasa ini telah terjadi pergeseran makna kata-kata tersebut, seperti cukong yang merupakan manipulasi di bidang-bidang ekonomi dan munculnya kata mafia yang merupakan lawan dari gotong-royong, di mana makna mafia adalah perselingkuhan dari segala unsur , sehingga tujuannya bukan lagi untuk kesejahteraan bersama (bonum commune) melainkan untuk mencapai kesejahteraan para mafia itu sendiri.
Sebab itu tidaklah mengherankan jika ada mafia peradilan, mafia daging sapi, mafia beras, mafia minyak goreng, dan mafia-mafia lain hampir merambah ke berbagai bidang kehidupan bersama. Jika arti saja berubah apalagi tata kelola, tata kehidupan bersama di tengah tata dunia NKRI ini.
Untuk itu segenap insan Vox Point Indonesia harus hadir di tengah tata dunia kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di NKRI dengan spirit keimanan Katolik dan spirit Kebangsaan tinggi untu memperjuangkan Kebenaran, Keadilan, Perdamaian, dan Kesejahteraan Bersama (bonum commune).
Satu Dalam Iman Aneka Dalam Aksi berlandaskan Spirit Kebangsaan Momentum ulang tahun ke 7 kali ini juga dimaknai dengan Sarasehan kebangsaan Vox Point Indonesia yang menghadirkan Narasumber dari internal Vox Point yang saat ini tengah berkiprah di tengah tata dunia politik berupa sharing (berbagi) pengalaman keterpanggilan dan perutusan ke tengah tata dunia Politik.
Mereka adalah : a. William Yani Wea (Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta) ,b. Haposan Paulus Batubara (Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra), c. Plasidus Tedu (Anggota DPRD Nagekeo dan Bidang Pemenangan Pemilu Partai PKS), d. Bobby Batubara (KaBiro Infrastruktur Partai Demokrat), e. Dr.Lidya Natalia Sartono (Anggota DPRD Kalbar Partai Nasdem), dan f. Melky Laka Lena (Anggota DPR-RI Partai Golkar).
Bagaimana mereka menghayati kehidupan politik sebagai rasul awam Katolik?. Politik Katolik adalah Bonum Commune: “Untuk membangun kehidupan politik yang sungguh manusiawi, tidak ada yang lebih baik daripada menumbuhkan semangat batin keadilan dan kebaikan hati serta pengabdian untuk kesejahteraan umum” (GS.Art.73,KV.II).
Komposisi Narasumber ini sesungguhnya mencerminkan motto Vox Point Indonesia yang sejalan dengan tagline Kerasulan Awam yakni “Satu Dalam Iman Aneka dalam Aksi”. Para Voxian terutus ke pelbagai medan bhakti pengabdian pelayanan merebut dan mengisi ruang-ruang publik untuk boleh berada di mana-mana tetapi tidak boleh ke mana-mana.
Ada Voxian yang menjadi Anggota DPR dan Pengurus di berbagai Partai Politik Negeri ini yang direpresentasikan oleh para Narasumber, ada yang berkiprah di PDI Perjuangan, di Partai Golkar, di Partai Gerindra, di Partai Nasdem, bahkan ada Awam Katolik yang menjadi Anggota DPRD dan Pengurus Partai PKS di empat Kabupaten di Nusa Tenggara Timur seperti Plasidus Tedu di Nagekeo dan kawan-kawannya di Timor dan Sumba NTT.
Meskipun mereka beraneka dalam aksi di tengah tata dunia tetapi ketika sebagai orang Katolik yang mengemban misi politik kebangsaan mereka mesti tetap bersatu dan solid.
Tentang strategi “Satu dalam Iman Aneka dalam Aksi” , penulis teringat akan legacy Mgr. Albertus Soegiopranoto, SJ : In principiis unitas, in dubiis libertas, in Omnibus caritas. Artinya dalam hal prinsip kita bersatu, dalam hal-hal yang masih terbuka kita bebas memilih dan di atas segalanya kita diikat oleh cinta kasih. “Kita 100% Katolik dan 100% Indonesia”.
Selain sharing suka duka kiprah di dunia politik dari para Narasumber , peserta sarasehan juga dinyalakan kembali api kesadaran kebangsaannya oleh kunci yang memang pakar wawasan kebangsaan dari institusi mainstream kebangsaan yakni Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, almamater penulis.
Sebagai pembicara kunci (keynote speaker) dalam sarasehan kebangsaan ini adalah Mayor Jenderal TNI (Purn) E. Imam Maksudi, seorang Tenaga Professional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI yang mewakili Gubernur Lemhannas RI.
Dalam presentasinya yang berjudul “Wawasan Kebangsaan Prasyarat Terjaganya Persatuan-Kesatuan Bangsa dan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” , Jenderal Imam Maksudi menyegarkan peserta sarasehan dengan 6 point berikut ini: a).Latar belakang sejarah munculnya Semangat Kebangsaan, b). Pemahaman
Wawasan Kebangsaan Indonesia, c).Masalah Bangsa sebagai Tantangan, d).Memantapkan Wawasan Kebangsaan untuk Mengatasi Tantangan /Permasalahan Bangsa, e). Strategi yang perlu dikembangkan, dan f). Mengembangkan dan Menguatkan peran Gereja.
Dengan merujuk perjalanan sejarah pengertian “Kebangsaan” dari para pakar seperti Ernest Renan, F. Ratzel (Risalah BPUPK, 28 Mei – 23 Agutus 1945, Sekretariat Negara Jakarta, 1998; ”Nilai-nilai Keindonesiaan”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2017), dan dari Tokoh pergerakan dan pendiri Bangsa seperti Boedi Oetomo, Ir. Soekarno dan Ki Hajar Dewantara (Risalah BPUPK, 28 Mei – 22 Agutus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1998 ; Sejarah Nasional Indonesia, Marwati DP dan Nugroho NS, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984).
Imam Maksudi menegaskan bahwa memahami makna NKRI tidak mungkin dipisahkan dari pemahaman kita tentang Wawasan Kebangsaan secara utuh. Hanya dengan pemahaman tentang Wawasan Kebangsaan yang benar kita akan diantar kepada kesadaran, tidak hanya pada mana persatuan di dalam realitas keragaman, melainkan juga pada kesadaran terhadap makna Cita-cita serta Tujuan Nasional kita bersama.
Hal tersebut berarti bahwa setiap warga negara Indonesia akan semakin menyadari arti berbangsa dan bernegara yang berdasarkan falsafah Pancasila, dan konstitusi Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika, serta hidup bersama didalam satu keutuhan Negara Kesatuan RI.
Pemahaman terhadap Wawasan Kebangsaan Indonesia sekaligus akan mampu menjawab berbagai permasalahan bangsa, serta membangun suasana kehidupan bersama secara harmonis dan saling menguatkan di antara segenap elemen bangsa. Kesemuanya itu diarahkan demi tetap dapat dipertahankannya Persatuan dan Kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI.
Wawasan Kebangsaan Indonesia tumbuh dari kesadaran kebangsaan, yaitu kesadaran untuk membangun dan mengembangkan diri sebagai satu bangsa yang merdeka, bebas dari belenggu penjajahan yang berkepanjangan, disamping kehendak untuk bebas membangun interaksi antar bangsa dalam prinsip kesetaraan.
Wawasan Kebangsaan yang kemudian menjadi wawasan Nasional bangsa Indonesia, dapat dirumuskan batasannya sebagai : Cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya sesuai dengan falsafah Pancasila, cita-cita dan tujuan nasionalnya serta kemungkinan penyesuaiannya di dunia yang serba berubah/dinamis (teori Geopolitik, Lemhannas RI).
Sebagai sebuah kesadaran, wawasan kebangsaan memang seharusnya dijaga dan dipelihara agar kehidupan kebangsaan tetap berkembang ke arah pencapaian cita-cita dan tujuan nasional kita yaitu kesejahteraan bersama (bonum commune) sebagaimana eksplisit termaktub dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Untuk itu diperlukan pemantapan wawasan kebangsaan kepada segenap elemen anak bangsa. Imam Maksudi lebih dalam mengingatkan bahwa memantapkan Wawasan Kebangsaan diwujudkan dalam praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia yang tetap diarahkan kepada pewujudan Cita-cita Nasional sebagai visi bangsa, serta pencapaian Tujuan Nasional yang merupakan misi Negara (alinea II &IV Pembukaan UUD NRI Th.1945).
Kita mengetahui sebagai visi bangsa, Cita-cita Nasional merupakan orientasi masa depan bangsa yang menjadi sasaran bagi setiap upaya pembangunan bangsa dan negara. Sedangkan Tujuan Nasional adalah misi yang diamanatkan oleh segenap rakyat untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh setiap aparatur penyelenggara negara.
Dalam konteks mengatasi permasalahan bangsa dalam kerangka memantapkan Wawasan Kebangsaan, perlu implementasi yang lebih konkrit terhadap Cita- cita maupun Tujuan Nasional. Cita-cita Nasional kita adalah Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur.
Sedangkan Tujuan Nasional kita adalah: a).Melindungi hak dan kepentingan seluruh rakyat serta menjaga tetap tegak-utuhnya integritas wilayah negara, demi terwujudnya suasana kehidupan masyarakat yang tertib serta memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi (misi keamanan); b).Menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata, berimbang dan proporsional untuk menghilangkan kesenjangan sosial yang terlalu lebar di seluruh wilayah nasional; serta meningkatkan daya kritis yang rasional disertai nasionalisme yang tinggi (misi kesejahteraan); d).Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya perdamaian dunia dengan interaksi sosial yang semakin intensif dan membangun, baik bagi kepentingan nasional maupun dalam menjalin hubungan antar bangsa (misi pembentukan lingkungan).