Seorang anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah, baik secara fisik maupun psikologis, dikenal dengan sebutan fatherless.
Meskipun jarang terdengar dibandingkan istilah single mother atau broken home, fenomena ini sebenarnya cukup besar di Indonesia.
Fatherless mengacu pada anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah atau memiliki ayah namun perannya tidak optimal dalam proses tumbuh kembang anak, yaitu dalam hal pengasuhan.
“Fatherless diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayah tapi ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak dengan kata lain pengasuhan,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti dikutip dari Antara.
“Reduksi peran gender tradisional memosisikan ibu sebagai penanggung jawab urusan domestik dan ayah sebagai penanggung jawab urusan nafkah masih melekat di masyarakat. Padahal, tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh kehadiran dari kedua orang tuanya dalam pengasuhan,” tambahnya lagi.
Pendapat tersebut mengacu pada fakta bahwa dalam masyarakat masih ada kecenderungan untuk membagi peran gender secara tradisional, di mana ibu dianggap sebagai penanggung jawab urusan domestik dan ayah dianggap sebagai penanggung jawab urusan nafkah.
Namun, penting untuk menyadari bahwa tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh kehadiran dan peran aktif dari kedua orang tua dalam pengasuhan.
Reduksi peran gender tradisional tersebut mengakibatkan pemisahan peran yang kurang seimbang antara ayah dan ibu dalam mendukung perkembangan anak.
Ketika peran ayah dalam pengasuhan anak terabaikan atau tidak optimal, dampaknya dapat dirasakan pada perkembangan emosional, sosial, dan psikologis anak.
Kehadiran dan kontribusi aktif dari ayah dalam mendidik anak sangat penting.
Ayah berperan sebagai panutan, mentor, dan sumber dukungan yang memberikan pengaruh positif pada perkembangan anak.
Melalui interaksi dengan ayah, anak dapat belajar nilai-nilai seperti kepercayaan diri, kemandirian, tanggung jawab, dan keterampilan sosial yang penting dalam kehidupan mereka.
Tetapi pada kenyataannya, Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia sebagai negara dengan jumlah anak tanpa sosok ayah (fatherless) terbanyak.
Fenomena fatherless ini muncul akibat hilangnya peran ayah dalam proses pengasuhan dan tumbuh kembang anak, yang salah satunya disebabkan oleh peran gender tradisional yang masih ada dalam masyarakat Indonesia.
Fatherless bukan hanya berkaitan dengan kehadiran fisik ayah karena rumitnya hubungan antara ibu dan ayah, tetapi juga secara psikologis, bahkan ketika orang tua masih dalam hubungan pernikahan.
Banyak cerita fatherless yang mungkin tidak disadari, seperti keluarga miskin yang tidak memiliki figur ayah karena ibu masih muda.
Keluarga kaya yang kehilangan figur ayah karena kesibukan bekerja dan sering bepergian, atau keluarga yang tanpa sadar tidak menjadikan keluarga sebagai prioritas.
Meskipun seorang anak memiliki ayah, jika mereka tidak mendapatkan pendampingan dan pengajaran dari sosok ayah, hal tersebut tetap berdampak negatif pada perkembangan masa depan mereka.
Anak yang mengalami fatherless umumnya merasa kurang percaya diri, cenderung menarik diri dalam kehidupan sosial, rentan terlibat penyalahgunaan obat terlarang, perilaku kriminal, kekerasan, masalah kesehatan mental, munculnya depresi, dan pencapaian akademis yang rendah.
Hal ini terjadi karena anak kehilangan sosok ayah sebagai panutan dan pendamping dalam hidup.
Kehilangan peran ayah dalam pengasuhan anak, terutama pada periode penting seperti usia 7-14 tahun dan 8-15 tahun, sangat berpengaruh pada prestasi sekolah.
Dampak fatherless bagi anak-anak yang bersekolah meliputi kesulitan konsentrasi, motivasi belajar yang rendah, dan risiko tinggi untuk putus sekolah.
Untuk mencegah berbagai masalah perkembangan anak, kehadiran ayah sangatlah penting. Ini berlaku tidak hanya bagi anak laki-laki, tetapi juga bagi anak perempuan.
Kita tentu masih ingat pepatah yang mengatakan bahwa ayah adalah cinta pertama anak perempuan.
Menjadi ayah yang baik tidak berarti harus menjadi sosok superman atau superdad.
Cara yang paling mudah adalah dengan meluangkan waktu, mendengarkan cerita anak-anak, memberikan kasih sayang melalui ciuman, pelukan, atau bentuk kasih sayang lainnya. Itulah yang dibutuhkan oleh anak-anak.