Sekarang ini, ada kebiasaan baru yang mulai muncul yaitu pamer kekayaan. Banyak orang terutama mereka yang kaya raya, melakukan tindakan flexing untuk menunjukkan kemewahan hidup mereka di media sosial.
Menurut Dewi Ilma Antawati, seorang Dosen Psikologi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, flexing adalah istilah untuk perilaku memamerkan kekayaan. Menunjukkan kekayaan bisa menjadi cara bagi seseorang untuk membangun hubungan sosial dengan orang lain, karena kebanyakan orang ingin diterima dan dihargai oleh orang lain.
LAGI TREND:
Rahasia Cantik ala Drakor: Tips Makeup Korea untuk Wanita Indonesia
Nah ini Loh 6 Cara Membersihkan Jam Tangan Stainless Biar Tetep Kinclong
5 Tempat Makan Dimsum AYCE All You Can Eat di Jakarta yang Wajib Dicoba
Dalam dunia psikologi, perilaku flexing bisa dikategorikan sebagai perilaku insting manusia untuk menjalin hubungan sosial. Namun, perilaku ini harus dikendalikan agar tidak berlebihan. Terlalu sering memamerkan kekayaan bisa membuat seseorang merasa lebih baik daripada orang lain dan cenderung sombong.
Selain itu, flexing juga bisa membuat stres dan kecemasan karena seseorang harus selalu mempertahankan citra mereka di depan orang lain. Jadi, sangat penting untuk mengendalikan perilaku flexing agar tetap positif dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Pernah melihat seekor merak yang memamerkan ekor indahnya untuk menarik perhatian pasangan meraknya? Nah, manusia juga kadang melakukan hal serupa ketika memamerkan apa yang mereka punya.
“Pada manusia dalam ilmu psikologi sosial menyebutkan bahwa memamerkan sesuatu yang dimiliki dilakukan untuk menunjukkan status sosial seseorang, dengan harapan lebih menarik di mata orang lain sehingga dapat memperluas pergaulan,” jelas Ilma dilansir dari laman UM Surabaya.
Dalam dunia psikologi klinis, perilaku flexing dikaitkan dengan rasa tidak aman yang dimiliki seseorang. Orang yang merasa kurang percaya diri atau insecure cenderung memiliki dorongan untuk memamerkan apa yang menurut mereka superior dari orang lain.
Perilaku flexing ini bisa menjadi cara seseorang untuk mencari pengakuan atau validasi dari orang lain dan mengurangi rasa tidak aman yang dirasakannya. Namun, jika tidak dikontrol dengan baik, perilaku ini dapat menjadi bumerang dan membuat orang tersebut semakin merasa tidak aman.
“Itulah sebabnya ada orang yang merasa tidak percaya diri datang ke pesta atau acara-acara tertentu jika tidak mengenakan barang yang bermerek, dan lebih nyaman jika datang mengenakan barang bermerek, karena adanya kekhawatiran tidak diterima atau dianggap rendah oleh orang lain,” tambahnya lagi.
BACA YUK:
Tempat Makan Dimsum All You Can Eat Di Bali
Model Baju Couple Simple Elegan yang lagi Trending
Menurut penjelasan dari Ilma, seorang ahli psikologi, perilaku flexing dapat memengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama ketika berada di lingkungan baru. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa saat seseorang memamerkan apa yang dimilikinya, justru membuat dirinya sulit diterima oleh orang lain atau sulit bergaul di lingkungan baru.
Tak hanya itu, perilaku flexing juga memiliki dampak negatif pada konsumerisme. Hal ini karena perilaku belanja dilakukan untuk meningkatkan status sosial, bukan karena kebutuhan.
Lebih lanjut, Ilma memberikan penjelasan tentang bagaimana masyarakat seharusnya menyikapi perilaku flexing. Jika berada dalam posisi pengamat, maka respon masyarakat tidak perlu berlebihan terhadap orang yang melakukan flexing. Masyarakat cukup memahami mengapa seseorang melakukan hal tersebut dan tidak perlu memberikan komentar atau respon yang tidak pantas.
“Untuk mencegah agar kita tidak menjadi pelaku, maka kita perlu mengenal kekuatan dan kelemahan diri, menerima kekuatan dan memaafkan kelemahan yang dimiliki, berusaha terus melakukan pengembangan diri, serta meningkatkan empati dengan cara memperbanyak kegiatan sosial dan berbagi dengan orang lain,” tutupnya.